BPJS Kesehatan: Teguran Jokowi Bentuk Perhatian Pemerintah

josstoday.com

Ilustrasi

JOSSTODAY.COM - Kepala Humas BPJS Kesehatan, Iqbal Anas Maaruf mengatakan, teguran Presiden Jokowi soal defisit BPJS Kesehatan menunjukkan komitmen pemerintah terhadap program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Teguran ini sekaligus memacu BPJS Kesehatan untuk melakukan perbaikan-perbaikan lebih baik ke depan.

“Menurut kami, pernyataan Presiden menunjukkan komitmen pemerintah bahwa ada yang harus diperbaiki ke depan. Bahwa pola hidup masyarakat yang sehat akan sangat membantu supaya pembiayaan kesehatan tidak semakin tinggi,” kata Iqbal kepada SPdihubungi via telepon, di Jakarta, Kamis (18/10).

Iqbal mengatakan hal ini menanggapi pernyataan Presiden Jokowi bahwa masalah defisit BPJS Kesehatan harusnya bisa selesai di tingkat kementerian, tidak perlu sampai ke Presiden. Pernyataan ini disampaikan Jokowi saat membuka Kongres Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Perssi) di Jakarta, Rabu (17/10).

Menurut Iqbal, masuk tahun kelima pelaksanaan JKN-KIS, koordinasi antara BPJS Kesehatan dengan kementerian dan lembaga terkait masih harus ditingkatkan untuk mengoptimalkan program ini. Termasuk koordinasi dalam meningkatkan upaya promotif dan preventif untuk mengurangi biaya pengobatan (kuratif).

Menurut Iqbal, bicara soal dana talangan dari APBN sebesar Rp 4,9 triliun untuk menutup defisit BPJS Kesehatan, adalah angka yang relatif. Kenyataannya, kebutuhan peserta terhadap layanan kesehatan makin besar. Pengeluaran untuk membiayai manfaat juga makin tinggi.

Data BPJS Kesehatan tahun 2017 menunjukkan, ada delapan penyakit katastropik yang menyerap anggaran terbesar, seperti jantung, gagal ginjal, kanker, dan stroke. Total biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan jenis penyakit ini selama 2017 mencapai Rp18,4 triliun atau 21,84 persen dari total biaya untuk pelayanan kesehatan di tahun itu sebesar Rp84,4 triliun. Di 2018 hingga bulan Agustus, biaya untuk penyakit katastropik mencapai Rp12,8 triliun atau 21 persen dari total pengeluaran untuk biaya manfaat Rp60,8 triliun. Tingginya pembiayaan penyakit-penyakit yang sebetulnya bisa dicegah dengan perilaku hidup sehat ini, menunjukkan belum optimalnya pembangunan kesehatan di hulu, yaitu promotif dan preventif.

Iqbal juga mengatakan, perbaikan manajemen sebagaimana disinggung oleh Presiden Jokowi, sebetulnya sudah dilakukan oleh BPJS Kesehatan. Dari sisi operasional, BPJS Kesehatan sudah melakukan berbagai langkah efisiensi untuk meminimalisir biaya operasional. Misalnya, pertumbuhan sumber daya manusia BPJS Kesehatan nol. Dalam dua tahun belakangan, BPJS Kesehatan tidak lagi merekrut karyawan baru. BPJS juga mengurangi perjalanan dinas luar kota, dan pengeluaran untuk kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan operasional BPJS, seperti sponsorship dan lain-lain. Efisiensi juga dilakukan sampai ke hal-hal kecil, misalnya sedapat mungkin mengurangi pertemuan atau rapat di luar kantor, seperti hotel, vila, dan lain-lain.

Di tingkat layanan, BPJS Kesehatan melakukan upaya kendali mutu dan kendali biaya layanan. Di antaranya lewat sistem rujukan berjenjang online. Menurut Iqbal, rujukan online ini memberikan kemudahan dan kepastian layanan kepada pasien, sehingga diharapkan bisa mengendalikan biaya layanan. Dengan rujukan online, pasien benar-benar dilayani berdasarkan kebutuhan medisnya, bukan keinginan. Sebelum adanya rujukan online, pasien memilih dilayani dokter spesialis yang diiginkan di rumah sakit tipe B. Padahal sesuai kebutuhan medisnya, pasien bisa dilayani di rumah sakit tipe C dengan biaya yang lebih efisien.

Pada Kongres Perssi kemarin, Presiden Jokowi menegur Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan. Jokowi heran karena ia harus turun tangan langsung untuk menyelesaikan defisit BPJS Kesehatan. Seharusnya defisit ini selesai di tingkat kementerian.

Jokowi juga meminta BPJS Kesehatan untuk segera memperbaiki sistem manajemen yang ada. Jika sistem ini diperbaiki, Jokowi optimis BPJS Kesehatan terhindar dari defisit keuangan. (fa/b1)

BPJS Kesehatan