Biarkan Rakyat Membatasi

josstoday.com

JOSSTODAY.COM - Oleh Rully Anwar **)

Tarik menarik soal RUU Pemilu di rapat paripurna DPR kamis kemarin, membuka mata kita pemilu tidak ubahnya sebuah permainan yang aturan mainnya juga ditentukan oleh para pemainnya. Ya, pemilu ibarat sebuah siklus politik yang menjadi panggung bagi kekuatan politik untuk saling berebut kekuasaan dan kenikmatan politik. Proses politik yang semestinya di mata rakyat sederhana, tidak demikian di mata politisi kita.

Proses politik dengan lobi-lobi harus memakan waktu hampir sepuluh jam sendiri untuk merumuskan aturan main yang pas buat pemilu 2019. Kenapa hanya pemilu 2019? Ya karena pengalaman menunjukkan di setiap pemilu sejak era reformasi kita selalu menggunakan aturan main yang berbeda. Undang-undang pemilu selalu berganti menjelang pemilihan umum. Ibarat kata, pemain selalu mengubah aturan main untuk mempermudah dan memperlancar bagaimana cara mereka bermain dan bagaimana supaya mereka mendapatkan kemenangan atau poin dengan mudah.

Puncaknya, aturan pemilu yang baru pun berhasil diketok setelah kurang lebih sembilan bulan digodok di DPR. Ada dua kubu yang sangat berseberangan terhadap isu tertentu, yakni ambang batas pemilihan presiden (presidential treshold). Satu kubu menghendaki ambang batas ini dan satu kubu lainnya tidak setuju. Kubu yang ngotot ambang batas diberlakukan didominasi oleh fraksi pendukung pemerintah, yakni PDI Perjuangan, Partai Golkar, PKB, PPP, Nasdem, dan Hanura. Pertimbangan diberlakukannya ambang batas untuk memperkuat sistem presidential dan membatasi jumlah calon presiden. Penghitungan suara atau kursi yang dipakai adalah hasil pemilu sebelumnya (2014) karena pemilu 2019 banti dilakukan serentak.

Sementara bagi kubu yang menolak ambang batas diberlakukan di pemilihan presiden sebagian besar adalah partai politik yang tidak mewakili wakil di pemerintahan. Hanya PAN yang memiliki menteri di pemerintahan berada di kubu ini. Sisanya, didominasi Partai Gerindra, PKS, dan Partai Demokrat. Argumentasi yang dibawa oleh kubu ini adalah soal model pemilu yang serentak antara pemilu legislatif dan pemilihan presiden tidak memungkinkan ambang batas diperlakukan dalam pemilihan presiden tersebut.

Penolakan ambang batas juga terkait tidak ada hasil pemilu yang dijadikan rujukan untuk ambang batas. Gagasan kubu pengusung ambang batas presiden yang memberlakukan hasil pemilu 2014 dinilai ahistoris, karena hasil pemilu 2014 sudah dipakai di pemilihan presiden 2014 dan konfigurasi politik yang berbeda dengan pemilu 2019. Menjadi aneh jika kemudian partai-partai politik yang bertarung di pemilu dua tahun lagi masih menggunakan hasil pemilu 2014 sebagai rujukan koalisi di pemilihan presiden 2019.

Tidak heran kemudian semalam kubu penolak ambang batas ini mengambil sikap untuk walk out dalam proses voting yang akhirnya dijadikan jalan keluar. Di atas kertas suara kubu ini tentu jauh di bawah kubu sebelah yang mengusung ambang batas. Gagasan yang argumentatif harus dikalahkan oleh dukungan suara yang representatif. Tapi itulah demokrasi, yang banyak harus menang, dan yang sedikit pun harus rela untuk kalah dan mengalah.

Tapi mari kita seksama meletakkan ini dalam konteks representasi politik dan etika politik. Tentu, penggunaan ambang batas presiden akan membuka koalisi selebar-lebarnya. Karena menurut aturan, calon presiden minimal memiliki modal dukungan 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional. Jika merujuk hasil pemilu 2014 dan sudah dibuktikan di pemilihan presiden 2014, tidak ada partai politik yang berhak mengajukan sendiri calon presiden tanpa harus berkoalisi.

Nah, ini membuka sebuah transaksi politik. Jangan dibayangkan kemenangan kubu ini adalah kemenangan pemerintah yang notabene mengusung ide pemberlakukan ambang batas pemilihan presiden meskipun pemilu dilakukan serentak di 2019. Semua yang diuntungkan pasti partai politik. Bayangkan saja jika kemudian Jokowi sebagai petahana presiden sudah berhasil mengumpulkan 18 persen kursi. Dia membutuhkan tiga persen kursi dan satu partai, misalnya, maka satu partai ini tentu bernilai bagi Jokowi karena menjadi syarat untuk lolos jadi calon presiden. Bayangkan bagaimana transaksi politik yang terjadi.

Lalu, apa untungnya jika tanpa ambang batas? Kekurangan tentu tetap ada. Tanpa ambang batas artinya semua partai berhak mengajukan calon presiden tanpa melihat berapa suara atau kursi yang diperoleh karena pemilu dilakukan bersamaan. Prosesnya tentu tidak sederhana karena potensi jumlah presiden sama dengan jumlah partai peserta pemilu tentu terbuka lebar. Namun, di situ rakyat disuguhkan banyak pilihan dan sesungguhnya rakyatlah yang berhak membatasi semua proses politik ini. Bagaimanapun rakyat adalah pemilih, sang penentu sikap dari masa depan demokrasi ini. Semoga undang-undang pemilu yang disahkan, baik kekurangan dan kelebihannya, menjadi tonggak sejarah politik untuk menghantarkan demokrasi di negeri ini untuk lebih baik lagi. 

 **) Rully Anwar adalah pemimpin redaksi Josstoday.com dan Bumntoday.com

ruu pemilu pemilu pileg pilpres dpr