Santri Bersatu Tak Bisa Dikalahkan
Wagub Jatim, Saifullah Yusuf (tengah), saat menerima penghargaan dari PCNU Kota Surabaya dalam peringatan Hari Santri Nasional 2017 yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama Kota Surabaya di Tugu Pahlawan, Surabaya, Minggu (22/10/2017). (Foto: Istimewa)
JOSSTODAY.COM - Oleh Rully Anwar **)
Jika September selalu publik diramaikan dengan wacana komunisme terkait sejarah kelam dan gelap Gerakan 30 september 1965. Kini Oktober menjadi perbincangan tentang sebuah gerakan perubahan. Ya, Oktober tidak lagi hanya Sumpah Pemuda. Oktober sudah diramaikan dengan Hari Santri.
Presiden Joko Widodo menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Peringatan ini didasari di tanggal tersebut pada 1945 pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asyari mendeklarasikan Resolusi Jihad. Resolusi ini diserukan, salah satunya untuk merespons NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang ingin menguasai kembali Indonesia dengan membonceng para sekutu.
KH Hasyim Asy'ari bersama dengan ulama lainnya, terutama dari wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya pada 21- 22 Oktober 1945. Mereka kemudian mendeklarasikan perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagai perang jihad. Berjuang melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan RI adalah jihad fisabillilah. Jihad dijamin masuk surga. Jihad adalah seruan melawan kebatilan, melawan penjajahan yang bertentangan dengan kemanusiaan dan peradaban.
Resolusi jihad pun direspon para santri. Tak pelak, ribuan santri dan pemuda kemudian bergerak dalam barisan Hisbullah. Sementara itu para kiai berada di barisan Mujahiddin. Keberanian mereka tidak lepas dari seruan isi Resolusi Jihad yang menyatakan hukum membela Tanah Air adalah fardhu ain alias wajib bagi setiap muslim di Indonesia. Tidak berhenti di situ, Resolusi Jihad juga ditegaskan soal kepada seluruh kaum muslimin yang berada dalam radius 94 kilometer dari pusat pertempuran, wajib ikut berperang melawan Belanda.
Tentu kita bisa membayangkan bagaimana Resolusi Jihad tersebut mampu menggetarkan jiwa-jiwa kaum muslim, terutama anak-anak muda yang merasa terpanggil, tanpa memikirkan resiko nyawa, harta benda, dan tentu masa depan. Panggilan jihad adalah seruan menghadap Allah. Dimensi ilahiah dan tauhid menjadi pendorong utama para santri bersama kiai, tanpa pikir panjang memutuskan melawan para sekutu asing yang berniat menguasai kembali Tanah Air.
Bayangan situasi saat itu sebenarnya sudah cukup apik tergambarkan dari film “Sang Kiai” yang menceritakan sosok KH Hasyim Asyari memimpin pondok pesantren sekaligus memimpin perlawanan terhadap sekutu, sebagai bagian dari Resolusi Jihad yang dikeluarkan. Sosok Kiai Hasyim Asyari, sebagai pendiri NU sekaligus ikon Pahlawan Nasional dari santri ini telah menjadi sosok yang menjadi panutan dalam lembar sejarah NU.
Tidak heran jika kemudian setelah resolusi, para kiai membentuk barisan pasukan Sabilillah yang dipimpin oleh KH Maskur. Dua minggu setelah Resolusi Jihad tersebut terjadilah pertempuran 10 November 1945. Bisa dibayangkan bagaimana dalam pertempuran tersebut, tidak sedikit santri turun langsung melawan sukutu di Surabaya. Pertempuran itupun dikenal sebagai pertempuran terbesar dan menjadi perlawanan massif di Surabaya yang kemudian menjadi penanda pengorbanan para pejuang. Hari pertempuran itu pun ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.
Jadi penetapan hari dimana Resolusi Jihad dikumandangkan yang kemudian menjadi Hari Santri Nasional dan penetapan pertempuran di Surabaya 10 November 1945 sebagai Hari Pahlawan semakin meneguhkan, peran santri memengaruhi dan menciptakan proses perubahan politik. Jadi jangan dibayangkan santri hanya berkutat dalam acara di pondok pesantren semata. Santri dalam sejarah pergerakan kita menjadi kekuatan yang tidak diragukan lagi mampu membendung penjajah.
Maka, tidak salah kiranya jika kemudian kini santri jaman now harus lebih mengambil peran dalam dinamika sosial politik bangsa ini. Kekuatan santri tidak sekadar menjadi penyeimbang, namun juga memiliki daya pengaruh yang besar mengubah keadaan. Hari Santri Nasional sekaligus memberikan penyadaran dan penguatan pemahaman kepada publik, khususnya kepada santri tentang betapa pentingnya santri atau pemuda untuk tidak lupa terhadap sejarah bangsa Indonesia.
Bagaimanapun harus diakui, Resolusi Jihad yang digaungkan oleh KH Hasyim Asyari adalah embrio sekaligus kristalisasi pemahaman tentang nasionalisme di Indonesia dalam kaca mata santri. Islam dan nasionalisme harus seiring, sejalan, dan saling menguatkan. Jika kita tinjau mendalam, Resolusi Jihad, selain tentu berdasarkan ajaran dan nilai-nilai Islam, juga menjadi perwujudan sikap dan mempraktikkan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Jadi jangan ragu lagi terhadap peran para santri. Mereka kini adalah kekuatan besar, tidak sekadar menjadi kekuatan pondok pesantren semata. Para santri juga mampu menjadi aktof perubahan di tengah masyarakat kita yang plural. Jadi ketika para santri bersatu, tentu tidak mudah dikalahkan. Selamat Hari Santri Nasional!
**) Rully Anwar adalah pemimpin redaksi Josstoday.com
Hari Santri Santri Today Review