Kasus OSO, Pelantikan Presiden Terpilih Terancam Ilegal

josstoday.com

Hamdan Zoelva.

JOSSTODAY.COM - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva mengingatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait dampak hukum ketika KPU mengabaikan atau tidak melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Seperti diketahui KPU mengabaikan putusan PTUN terkait gugatan Oesman Sapta Odang (OSO). Dampak yang paling fatal adalah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih terancam ilegal atau inkonstitusional.

“(Pelantikan Presiden dan wakil presiden) itu pasti ilegal,” ujar Hamdan Zoelva usai menjadi saksi ahli di sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait laporan atas dugaan pelanggaran kode etik KPU dan Bawaslu, di Kantor DKPP, Jalan MH Thamrin Nomor 14, Sarinah, Rabu (13/2).

Menurut Hamdan, PTUN dengan jelas telah menyatakan pembatalan dan pencabutan SK Penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPD Pemilu 2019. Kemudian, PTUN memerintahkan KPU menerbitkan SK baru tentang Penetapan DCT Anggota DPD Pemilu 2019 dengan mencantumkan nama OSO di dalamnya.

“Itu kan sudah dibatalkan. Kalau misalnya KPU tidak mengeluarkan surat keputusan baru soal penetapan DCT DPD, maka dia nanti membuat surat suara itu dari mana? Nanti calon anggota DPD ilegal jadinya. Sebab tidak ada dasarnya. Kan sudah dibatalkan (SK) oleh PTUN,” tandas Hamdan.

Hamdan menilai sikap KPU yang tidak menjalankan putusan PTUN bisa mengganggu pelaksanaan dan hasil pemilu. Pasalnya, anggota DPD yang terpilih merupakan anggota ilegal dan pada akhirnya mempengaruhi pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang seharusnya dilantik oleh MPR yang di dalamnya terdapat DPR dan DPD.

“Jadi harus hati-hati. Jangan sampai pemilu terganggu. Masalah-masalah hukum seperti ini sangat penting,” tutur Hamdan.

Lebih lanjut, Hamdan mengatakan bahwa putusan PTUN adalah putusan yang bersifat kongkret, individual dan final. Menurut Hamdan, PTUN adalah pengadilan fakta atau court of fact yang berbeda dengan MK yang merupakan pengadilan norma atau court of norm.

“Nah apapun pengadilan fakta ini, putusannya, saya katakan harus dilaksanakan apa adanya putusan pengadilan fakta itu. Itu dilaksanakan, tidak boleh kita menyatakan saya tidak mau melaksanakan karena tidak sesuai keputusan MK. Itu pikiran hukum dari mana? Ini beda, MK itu tingkatnya norma UU, UU nggak ada artinya tanpa dibuatkan dalam putusan konkrit. Putusan konkrit itulah yang menjadi pegangan dalam perilaku dan kebijakan sehari-hari,” terang Hamdan.

Sebagaimana diketahui, PTUN telah memutuskan perkara Nomor: 242/G/SPPU/2018/PTUN Jakarta tertanggal 14 November 2018. Perkara ini terkait gugatan OSO atas pelanggaran administrasi KPU yang tidak memasukkan nama OSO dalam DCT anggota DPD Pemilu 2019. Dalam putusannya, PTUN memerintahkan membatalkan dan mencabut Keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.04-Kpt/06/KPU/IX/2018 tanggal 20 September 2018 Tentang Penetapan DCT Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD. PTUN juga memerintahkan KPU agar menerbitkan SK baru DCT Anggota DPD dengan mencantumkan nama OSO di dalamnya. Namun, sampai saat ini KPU tidak menjalankan putusan PTUN tersebut.

Lantaran tidak menjalankan putusan PTUN, kubu OSO telah melaporkan Ketua dan Komisioner KPU ke Bareskrim dan Polda Metro Jaya atas dugaan tindak pidana tidak melaksanakan perintah UU dan pengadilan. Selain itu, Ketua dan Komisioner KPU juga dilaporkan ke DKPP atas dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. (gus/b1)

KPU Kasus OSO