Gandrung Tengah Sawah, Upaya Menjaga Lestarinya Kesenian Agraris
JOSSTODAY.COM - Sebanyak 50 penari Gandrung, berjajar di pematang awah di Desa Tamasuruh, Kecamatan Glagah Banyuwangi. Mereka akan membawakan tarian “Jejer Gandrung” secara langsung dengan disaksikan para turis dan pengunjung Resto Kemarang siang itu. Tentu saja pra pengunjuang dibuat kagum, karena dengan ruang gerak penari yang sempit tidak membatasi mereka olah gerak mengiktu musik Gandrung.
“Ini sebetulnya upaya ‘nguri-nguri’ kesenian tradisional dari kami di Waroeng Kemarang, sebagai distinasi Wisata Kelunis Lokal Banyuwangi. Komitmen awal kami, memang melestarikan kesenian daerah yang hidup subur di daerah ini. Meski demikian, perlu ada inovasi agar panampilan kesenian itu dak monoton”, ujar Wowok Merianto, ownee Waroeng Kemarang yang mempunya ide Jejer Gandrung Tengah Sawah.
Wowok mengaku kerjasama dengan Guru Tari dari sejumlah sekolah, sehingga tidak ada kesulitan saat menyampaikan gagasan itu. Para Guru tari langsung bisa menerjemahkan keinginan saya, serta hany membutuhkan waktu beberapa minggu latihah. “Kita sengaja memilih Tari Jejer Gandrung untuk dipentaskan di pematang sawah, karena sebagai bentuk tari penyambutan tamu, tari ini sangat populer dan banyak dihafal oleh anak-anak sekolah. Tidak heran, dalam waktu singkat mereka segera menyusiakan diri dan bisa tampil maksimal”, tambah Wowok.
Menanggapi kesan hanya mencari sesansi, dengan mementaskan Gandrung di tengah sawah. Wowok membantah tegas, bahwa upayanya membawa pagelar Gandrung ke tengah sawah adalah untuk mengingatkan kepada masyarakat, Gandrung itu kesenian agraris. Awal kesenian gandrung itu adalah ritual Seblang, untuk memuda Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan.
“Saya sudah konsultasi dengan Buadayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimayan, bahwa tempat kesenian Gandrung ini sebetulnya di sawah, bukan di pantai. Kreativitas mengeman Gandrung Tengah Sawah ini, agar semakin menarik bagi turis nasional maupun international. Juga untuk menyatukan Gandrung dengan alam dan udara segar, kebetulan sawah masih terbentang di lokasi Waroeng Kamarang. Bahkan saat pementsan berlangsung, aktinas petani mencabuti gulma (matun-red) tetap kita biarkan”, tambah pengusaha asli Banyuwangi ini.
Saat pementasan Gandrung Tengah Sawah disirakan langsung lewat akun fancebook, banyak komentar positif atas upaya ini. Para nitizen ini kebanyak menyanjung dengan kata-kata Hebat, keren, mantul dan lain sebagainya. Sementara meski di Banyuwangi banyak agenda pertunjukan seni dan wisata, namun tidak menyurutkan niat orang lokal dan wisatawan untuk melihat ini.
“Terus terang, saya salut dengan kreasi baru pentas Gandrung di tengah sawah. Kita bisa luluasan melihat gemulai tarian Gandrung, sambil menikmati desiran angin persawawan. Salut juga kepada penata tarinya, karena penari Gandrung di tengah terik matahari dilengkapi dengan “manset” yang sesuai dengan warna kulitnya. Selain untuk melindungi penari dari terik matahari, juga tidak menimbulkan interprestasi baru jika ‘manset’-nya berwarna” kata Pelukis Seniaor Banyuwangi, S Yadi K yang sengaja menonton bersama keluarga besarnya.
Diaspora Banyuwangi yang tinggal di luar kota, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, serta kota-kota lain, kemarin juga terlihat menikmati penampilan Gandrung Tengah Sawah. “Tim kami di Waroeng Kemarang, terus berupaya menyajikan pementasan terbaik. Posisi Waroung ini ada di tengah sawah dan dekat dengan para petani, maka konsep ke depan yang dikembangkan tidak akan jauh dari pontesi yang ada”, pungkas Wowok. (han/pr)
kesenian banyuwangi kesenian agraris gandrung tengah sawah