Batik Impor Ancam Kelestarian Batik Asli Indonesia
Aparatur Sipil Negara (ASN) Sekretariat Pemko Banda Aceh mengenakan pakaian batik dalam rangka memperingati Hari Batik Nasional 2019 di halaman Balaikota, Banda Aceh, Aceh, Rabu, 2 Oktober 2019.
JOSSTODAY.COM - Peresmian batik Indonesia sebagai warisan budaya oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) satu dasawarsa lalu, menuntut masyarakat Indonesia agar lebih bertanggung jawab dalam mempertahankan kelestarian batik sebagai sebuah warisan budaya yang tidak ternilai harganya.
Hal tersebut diungkap oleh Direktur Warisan Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Nadjamuddin Ramly. Dalam taklimat media perayaan satu dasawarsa batik, di Perpustakaan Kemdikbud, Selasa (1/10/2019), dirinya pun menjelaskan, perlindungan batik harus berlangsung dari hulu ke hilir.
“Dari Kemdikbud kami telah mencoba membawa nama batik resmi menjadi daftar Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia, sehingga sudah terproteksi. Tidak ada negara lain yang mengklaim, batik hanya dari Indonesia. Kita pun berupaya membantu komunitas batik berkegiatan. Namun, hal yang tidak bisa kami lakukan adalah mengatur para pembatik berkontestasi di dalam industri,” ungkapnya.
Eksotis Motif Batik Madura di Wastra Nusantara
Menurutnya, tantangan terberat yang saat ini tengah mengancam kelestarian batik tulis dan cap asli Indonesia adalah masuknya batik tektil dari luar negeri yang tidak jelas asal usulnya. Kemudian, tekstil bermotif batik itu dijual dengan harga murah, sehingga konsumen lebih memilih batik impor tersebut dibandingkan dengan batik lokal.
“Hal ini membuat pembatik kita gulung tikar. Salah satu cara pembenahannya, yaitu dengan mengubah kebijakan perdagangan kita. Harusnya batik impor Tiongkok tidak boleh masuk ke Indonesia, dan batik lokal diringankan pajaknya. Kalau itu semua dibenahi, pembatik kita akan untung sejahtera," kata Nadjamuddin
Menurut dia, serbuan tekstil bermotif batik impor tersebut juga akan berdampak pada regenerasi pengrajin batik, karena pendapatan sebagai pengrajin batik dinilai kurang menjanjikan.
“Dari hal kecil pula, partisipasi masyarakat untuk membeli produk-produk lokal agar batik negeri sendiri dapat terus bertahan itu sangat diperlukan,” terangnya.
Pelestarian batik dari hulu ke hilir juga dilakukan oleh beberapa komunitas pecinta batik, salah satunya Yayasan Tjanting Batik Nusantara. Menurut sang pendiri, Bonny Widjoseno mereka tengah berupaya menumbuhkan kesadaran generasi muda untuk menggunakan batik Indonesia.
"Kami lebih fokus dengan permasalahan yang ada di hulu, sehingga para pemuda dapat mengenal dan mencintai batik secara utuh," kata Bonny di Jakarta, Selasa.
Dia menambahkan ada beberapa permasalahan batik yang selama ini kurang disoroti oleh masyarakat, salah satunya semakin berkurangnya jumlah pengrajin canting. Padahal canting merupakan salah satu alat penting untuk membatik. Menurut dia semakin kurangnya pengrajin batik karena ekosisme batik yang kurang baik, apalagi harga satu canting terbilang cukup murah yaitu Rp 2.500.
“Sekarang banyak gempuran tekstil dengan motif batik yang diimpor dari Tiongkok, hal itu dapat merusak ekosistem batik lokal. Semakin lama, batik makin langka peminatnya. Kita harus bersama mempopulerkan ini, salah satunya mulai dari alat pembuatan awal yaitu, canting. Kalau tidak ada canting bagus, maka tidak ada kain bagus," ujar dia.
Perayaan Unik
Demi merangkum segala persoalan yang menyelimuti industri batik di Indonesia sekaligus merayakan satu dasawarsa masuknya batik ke daftar ICH Unesco, beberapa komunitas batik dan juga kemdikbud membuat sebuah perayaan yang unik dengan menyelenggarakan drama musikal bertajuk, Canting, Malam dan Mass Print yang disutradarai oleh Aditya Yusma. Melalui drama musikal ini, ia berharap perayaan satu dasawarsa batik akan berlangsung spektakuler dan penuh makna.
"Salah satu yang tengah dihadapi adalah semakin sedikitnya perajin canting dan regenerasi pengrajin batik kian melambat. Kami ingin perayaan ini juga bisa dinikmati oleh generasi milenial, dengan suguhan yang menyenangkan dan kekinian," kata dia yang juga CEO Peninda Wastra Persada ini.
Nantinya, drama musikal yang akan dimeriahkan oleh puluhan anak muda dari Rumah Akting Masterclass milik Aditya ini akan mengisahkan bagaimana batik dibuat dari proses yang panjang, hingga akhirnya diterpa banyak tantangan di industri saat ini.
”Canting dan malam atau lilin adalah dua alat yang menjadi bagian penting dalam pembuatan batik, tanpa kedua alat itu maka tak akan ada batik tulis. Namun saat ini, batik yang dibuat dari canting harus berhadapan dengan batik yang dibuat oleh print atau yang sering disebut dengan batik tekstil,” ungkapnya.
Melalui drama musikal ini Aditya juga ingin menyampaikan satu pesan penting. Kehidupan batik di hulu akan hilang apabila pemerintah dan komunitas tidak memperhatikan masalah-masalah tersebut.
"Melalui panggung ini kami ingin menyampaikan kepada masyarakat kalau batik telah menjadi tamu kehormatan di dunia, industrinya semakin maju tetapi perajinnya tidak mengalami regenerasi yang baik," kata dia.
Drama musikal tersebut akan ditampilkan dalam perayaan Dasawarsa Hari Batik Nasional di halaman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Rabu (2/10/2019), pukul 19.00 WIB. Perayaan ini bisa disaksikan oleh publik secara gratis. (is/b1)
Hari Batik batik