Pekan ini, Nasib Netanyahu Diputuskan

josstoday.com

PM Israel Benjamin Netanyahu

JOSSTODAY.COM - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bisa kehilangan kekuasaannya yang sudah berlangsung selama 12 tahun berturut-turut pekan ini jika para lawan politiknya berhasil membentuk koalisi mayoritas yang berhak membentuk pemerintahan.

Total, Netanyahu sudah menjadi perdana menteri selama 15 tahun jika ditambah masa jabatannya di akhir 1990-an.

Partai Yesh Atid, partai terbesar di kubu oposisi, diberi waktu hingga hari Rabu (2/6/2021) lusa untuk membentuk pemerintahan koalisi yang baru, setelah Netanyahu gagal melakukannya usai pemilu Maret lalu.

Yesh Atid berada di posisi kedua perolehan suara setelah Partai Likud pimpinan Netanyahu, tetapi mampu menggalang koalisi yang lebih besar dari koalisi pemerintah.

Partai Yesh Atid yang beraliran sentris dipimpin oleh mantan menteri keuangan Yair Lapid.

Masalah besar menerpa Netanyahu setelah tokoh ultra-nasionalis Naftali Bennett mengatakan akan bergabung dengan Lapid untuk menyingkirkan perdana menteri.

Bennett memimpin Partai Yamina, yang mendapat enam dari 120 kursi parlemen dan jika bergabung dengan oposisi akan membentuk koalisi dengan mayoritas mutlak untuk mengakhiri dominasi Netanyahu.

Koalisi oposisi ini akan menggabungkan partai-partai dari kelompok kanan, kiri, dan tengah dalam kontestasi politik Israel. Meskipun aliran politik mereka sangat berbeda, partai-partai itu disatukan oleh keinginan yang sama: menggulingkan Netanyahu yang saat ini menghadapi dakwaan korupsi.

Dalam terminologi politik, sayap kanan merujuk pada paham nasionalisme dan konservatif, sementara sayap kiri merujuk pada liberalisme. Namun, sayap kiri juga kerap diasosiasikan dengan sosialisme dan egalitarianisme.

Bennett yang baru berusia 49 tahun secara terbuka mengumumkan keinginannya untuk bergabung dengan Lapid dalam pidato televisi pekan lalu.

"Netanyahu tidak lagi berusaha untuk membentuk pemerintahan sayap kanan karena dia tahu persis tidak ada yang seperti itu. Dia hanya ingin merebut seluruh kelompok nasional, dan seluruh negeri, demi pertahanan terakhir untuk dirinya pribadi," kata Bennett.

"Saya akan melakukan semuanya untuk membentuk pemerintahan nasional bersatu dengan teman saya, Yair Lapid," imbuhnya.

Sebelum pernyataannya itu, media-media di Israel memberitakan kesepakatan yang ditawarkan Bennet, bahwa dia akan menggantikan Netanyahu sebagai perdana menteri dan periode berikutnya menyerahkan jabatan kepada Lapid, 57, dalam sistem rotasi. Berita ini tidak dikonfirmasi oleh pihak-pihak terkait.

Hari Minggu (30/5/2021), Netanyahu merespons dengan mengatakan usulan pemerintahan bersatu itu akan “membahayakan keamanan negara”.

Ia juga mendesak para politisi sayap kanan untuk tidak mendukung rencana Bennett.

"Jangan bentuk pemerintahan sayap kiri – pemerintahan seperti ini akan menjadi bahaya bagi keamanan dan masa depan Israel," kata Netanyahu, 71.

Dia juga menuduh Bennett “menyesatkan masyarakat” dan “melakukan penipuan abad ini” karena sebelumnya pernah mengatakan tidak akan bergabung dengan Lapid.

Yang menarik, Sabtu lalu Partai Likud pimpinan Netanyahu juga melakukan pendekatan kepada Bennett dan sebuah partai lain dengan tawaran jabatan perdana menteri secara rotasi, digilir tiga orang.

Tawaran itu langsung ditolak, tetapi Netanyahu mengulangi lagi opsi yang sama hari Minggu kemarin.

Sistem pemilu Israel yang berasas “perwakilan proporsional” membuat nyaris tidak mungkin bagi satu partai tertentu untuk bisa sendirian menang pemilu. Karena itu, partai-partai yang lebih kecil dibutuhkan untuk membentuk koalisi mayoritas.

Setelah Netanyahu gagal membuat koalisi mayoritas, Lapid awalnya diberi waktu 28 hari untuk membentuk pemerintahan, tetapi tertunda akibat konflik 11 hari di Gaza.

Salah satu mitra koalisi, yaitu Partai Islam Raam, meninggalkan negosiasi soal koalisi gara-gara konflik tersebut. Selain itu, di sejumlah kota di Israel terjadi bentrok antara populasi Arab dan Yahudi, sehingga membuat peta politik makin rumit.

Jika koalisi mayoritas gagal dibentuk, Israel akan dipaksa menggelar pemilu lagi -- yang kelima sejak April 2019.

PM Israel Benjamin Netanyahu