Katakan Tidak Pada Kekerasan

josstoday.com

Mahatma Gandhi

JOSSTODAY.COM - Oleh Rully Anwar **)

Kekerasan selalu lahir dari kekosongan jiwa dan nafsu kuasa. Tokoh Ahimsa Mahatma Gandhi menyebut kekerasan adalah cara-cara orang yang jiwanya lemah. Kekerasan terkadang menjadi protes akan ketidakadilan dan tidak jarang kekerasan juga menjadi alat kekuasaan untuk membungkam kekuatan yang melawannya. Namun, kekerasan tetaplah kekerasan, yang nihil dan menolak sebuah nilai serta moral.

Kasus yang cukup menghentak, terjadi Minggu (9/7/2017) dinihari, seorang ahli IT dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Hermansyah menjadi korban pembacokan orang tak dikenal ketika berkendara di jalan tol, di Jakarta. Sebelumnya korban dikenal sebagai ahli teknologi informasi yang memberikan pernyataan soal chat Habib Riziq dan Firza Husein yang dinilainya rekayasa alias palsu. Tidak heran kemudian publik pun menghubung-hubungkan kasus kekerasan ini dengan sikap korban terkait kasus chat mesum tersebut.

Sebelumnya, kasus yang sama juga melanda seorang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Seperti halnya Hermansyah yang diserang di waktu fajar, Novel pun mengalami kekerasan sepulang sholat subuh di masjid. Air keras membasahi sebagian wajahnya dan fungsi mata Novel pun mengalami gangguan penglihatan. Kasus Novel pun melahirkan kecurigaan-kecurigaan. Kasus kekerasan ini tidak bisa dilepaskan pada posisi Novel sebagai penyidik KPK. Ada yang gerah dengan langkah KPK, begitu sebagian opini publik yang berkembang. Hal yang sama juga lahir seiring dengan kasus kekerasan terhadap Hermansyah. Muncul opini yang menyebut ada yang marah dengan pernyataan korban soal chat yang dianggapnya palsu antara Habib Riziq dengan Firza Husein.

Apa yang bisa kita petik dari dua kasus kekerasan ini? Ya kekerasan selalu bermakna tidak tunggal. Apalagi si korban memiliki posisi, peran, dan kedudukan dalam konteks sosial dan politik. Kecurigaan-kecurigaan yang muncul tidak lepas dari posisi tersebut. Lalu bagaimana menjelaskan jika kedua kasus tersebut tidak seperti yang dibayangkan dan diopinikan publik? Ya, tentu saja semua berpulang pada penegak hukum, dalam hal ini polisi untuk mengusut tuntas pelaku kekerasan tersebut.

Tuntutan ini wajar dan biasa karena bagaimanapun polisi adalah ujung tombak dalam menyelesaikan kasus-kasus kriminal tersebut. Apalagi dua kasus ini sudah menjadi konsumsi publik dan perhatian banyak orang. Kasus Novel, misalnya, sudah hampir tiga bulan kasus ini belum tuntas. Untuk ukuran kriminal biasa, mestinya kasus ini ringan. Sejumlah kasus perampokan dan pembunuhan atau kriminal-kriminal besar yang selama ini mengundang perhatian publik, terutama yang terjadi di ibukota relatif mampu dipecahkan oleh polisi dari waktu kurang dari tiga bulan. Nah, kasus Novel adalah ujian bagi polisi. Hal yang sama sebenarnya juga berlaku bagi kasus yang melanda Hermansyah.

Polisi harus mampu menjawab keraguan dan pertanyaan publik tentang kasus ini, apakah kriminal murni, atau terkait dengan posisinya dan kesaksiannya terkait chat mesum yang menjerat Habib Riziq dan Firza Husein. Hal ini penting untuk mempertebal kepercayaan publik pada institusi penegak hukum. Hukum harus menjadi panglima. Semua warga berkedudukan sama di mata hukum. Tidak membeda-bedakan dan tidak mengkhusus-khususkan. Jadi siapa saja yang berniat melawan hukum, dia tidak saja melawan negara, namun juga melawan kemanusiaan itu sendiri.

Seperti kekerasan yang dialami Hermansyah dan Novel, dan mungkin ribuan korban kekerasan lainnya, kita mesti menyatukan langkah bahwa kekerasan bukanlah solusi untuk menunjukkan siapa yang paling benar dan paling kuasa. Kekerasan hanyalah potret orang-orang yang kosong jiwa dan miskin rasa kemanusiaan. Kekerasan identik dengan keputusasaan. Kekerasan selalu berteman dengan ketidakadilan dan ketakutan akan kekalahan.

Dan publik pun telah mencatat, bahkan polisi yang dinanti perannya dalam berbagai penegakan hukum dan pengusutan kasus kekerasan tersebut, juga adalah korban pada terjadinya tindak kekerasan belakangan ini. Seperti kasus dialami dua aparat yang terkena tikaman orang tidak dikenal pada Jumat (30/6/2017) malam di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dua polisi pun dilarikan kerumah sakit, yaitu AKP Dede Suhatmi (Detasemen I Gegana) dan Briptu M Syaiful Bakhtiar (Detasemen III Pelopor).

Dan sekali lagi, bahwa berbagai tindak kekerasan ini, adalah pesan yang punya makna bukan tunggal. Polisi diharap tetap ada pada garda depan penegakan hukum guna mengusut aksi kekerasan hingga akarnya, sehingga kekerasan seperti ini tidak lagi berulang. Apalagi, polisi adalah sekaligus korbannya pula.

Seperti dijelaskan oleh Mahatma Gandhi bahwa akar kekerasan ialah kekayaan tanpa bekerja, kesenangan tanpa hati nurani, pengetahuan tanpa karakter, perdagangan tanpa moralitas, ilmu tanpa kemanusiaan, ibadah tanpa pengorbanan, politik tanpa prinsip. Nilai kemanusian mestinya menjadi benteng terakhir kita untuk membendung kekerasan. Namun, keadilan hukumlah yang juga menjadi harapan kita untuk mendapatkan satu keyakinan bahwa kekerasan menjadi tindakan haram yang dilawan oleh negara. Hukum menjadi kata kunci bagi publik untuk tidak takut dan tunduk pada kekerasan.

Ya, kekerasan adalah hal yang harus kita tolak karena telah melawan hakekat kemanusiaan itu sendiri. Kekerasan menjauhkan kita dari nilai-nilai asasi kita sebagai manusia dan telah meninggalkan hakekat kehidupan kita untuk saling menjaga dan menghargai. Mari kita tolak kekerasan dengan kesadaran penuh bahwa kekerasan adalah musuh kemanusiaan dan Ketuhanan. Katakan tidak pada kekerasan!.

**) Rully Anwar adalahpemimpin redaksi Portal Berita Josstoday.com dan Bumntoday.com

krimininalitas anti kekerasan polisi