Dana Parpol Naik, Korupsi Turun?

josstoday.com

Robi Setyanegara (foto: istimewa)

JOSSTODAY.COM - Oleh Robi Setyanegara *)

Pemerintah, melalui Surat Menteri Keuangan Nomor 277/MK.02/2017, memutuskan untuk menaikkan alokasi bantuan dana bagi partai politik (parpol) sebanyak sepuluh kali lipat menjadi Rp 1000 per suara sah. Sebelumnya, bantuan dana parpol mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik yang mengatur bahwa bantuan dana diberikan berdasarkan perolehan suara sah pada pemilu dengan “harga” Rp 108 per suara sah. Tentu saja kenaikan bantuan dana tersebut disambut sumringah oleh seluruh parpol yang ada di perlemen saat ini. Sekarang parpol memiliki pundi-pundi yang lebih besar yang bersumber dari uang rakyat.

Sebagai contoh simulasi, hasil pemilu 2014 lalu menempatkan PDI-P sebagai parpol dengan peraih suara sah terbanyak, yakni 23.681.471 suara atau 18,95 persen dari total suara sah perolehan semua parpol, disusul oleh partai Golkar yang meraih 18.432.312 suara (14,75 persen) dan partai Gerindra yang memperoleh 14.760.371 suara (11,81 persen).Jika dikonversikan, maka ke depan PDI-P berhak memperoleh bantuan dana dari APBN sebesar Rp 23.681.471.000. Dua partai setelahnya masing-masing memperoleh Rp 18.432.312.000 dan Rp 14.760.371.000. 

Harapan dan Kekhawatiran

Keputusan untuk menaikkan bantuan dana bagi parpol tidak dipungkiri membawa sejumlah harapan agar parpol memiliki sumber keuangan yang baik dan cukup sehingga tidak lagi tersandung kasus korupsi. Tetapi, muncul kekhawatiran dalam benak publik apakah dengan bantuan dana yang besar itu menjamin parpol untuk menjadi bersih. Berbagai catatan kelam tentang korupnya partai politik menambah keyakinan publik untuk menaruh sedikit kepercayaan kepada parpol. Hasil survei yang dilakukan oleh Polling Center dan ICW menunjukkan bahwa partai politik berada di urutan terbawah dari empat belas lembaga yang dipercaya publik untuk memberantas korupsi. Artinya, selama ini partai politik tidak menunjukkan perannya yang signifikan untuk melawan korupsi. Malahan dalam banyak kasus parpol menjadi supplier koruptor. Alih-alih memberantas korupsi, beberapa parpol yang ada di parlemen justru terkesan ingin melemahkan KPK melalui rangkaian mekanisme yang tidak masuk akal.

Rendahnya kepercayaan publik ini tidak saja akan merugikan parpol, tetapi juga, menurut Blechinger (2002), menimbulkan sinisme pemilih (voter cynicism) dan kekecewaan terhadap sistem politik. Perlu digarisbawahi bahwa minimnya trust publik kepada parpol di negara penganut demokrasi adalah sebuah aib besar yang bisa merusak berlangsungnya demokrasi itu sendiri. Tidak ada demokrasi yang sehat tanpa kepercayaan yang kuat dari publik kepada partai sebagai institusi yang paling bersentuhan langsung dengan rekrutmen politik.

Korupsi, untuk (Si)apa?

Kasus korupsidi Indonesia sangat jamak dilakukan oleh – dan tidak terbatas pada – para politisi yang sedang memangku jabatan sebagai wakil rakyat di parlemen, meskipun tidak menutup kemungkinan praktik kotor itu juga terjadi di tubuh eksekutif dan yudikatif. Tanpa bermaksud menghilangkan makna korupsi itu sendiri, kini modus korupsi sangat beragam dan kreatif. Korupsi tidak semata-mata bisa ditafsirkan secara sederhana sebagai mencuri uang negara an sich. Dalam banyak kasus yang terungkap, korupsi justru terjadi dalam perselingkuhan yang keji antara pemangku jabatan publik dengan berbagai pihak yang berkepentingan, termasuk yang paling umum adalah perusahaan swasta yang serakah. Perselingkuhan kotor ini yang kerap didengar oleh publik melalui media massa dengan istilah suap, gratifikasi, atau dengan frasa memperkaya diri sendiri atau orang lain secara tidak benar. Atas dasar itu kemudian Bank Dunia memberikan definisi yang sangat simple namun mencakup pengertian secara umum bahwa korupsi adalah abuse of public office for private gain.

Pertanyaannya adalah : kemana uang haram itu akan bermuara?

Dalam sebuah kertas kerjanya (working paper) yang disponsori oleh IMF dengan judul Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope, and Cures, Vito Tanzi (1998) mengungkapkan sebuah kesimpulan dari hasil studinya mengenai korupsi di berbagai negara bahwa pada nyatanya korupsi itu ditujukan untuk membiayai partai politik. Sebagai institusi yang lekat dengan kekuasaan, parpol tidak bisa banyak mengelak bahwa berbagai kasus korupsi yang terjadi, termasuk di Indonesia, berkaitan dengan kepentingan parpol itu sendiri. Logikanya sangat sederhana : parpol mengangkat kadernya untuk duduk di kursi kekuasaan. Untuk memperbanyak amunisi demi memenangkan kompetisi elektoral, kader dengan segala cara mengumpulkan uang. Pada akhirnya uang itulah yang akan digunakan untuk membiayai aktivitas parpol. Pernyataan ini semakin sulit terbantahkan seiring dengan kenyataan bahwa memang parpol membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk bisa mempertahankan dan memperlebar sayap kekuasaannya.

Membebaskan Parpol dari Korupsi

Ada sebuah pernyataan menarik dari hasil studi komparasi partai politik di Indonesia dengan partai politik di beberapa negara di Asia Tenggara yang dilakukan oleh Fionna dan Tomsa (2017). Mereka menyebutkan bahwa partai politik di Indonesia secara kelembagaan sudah jauh lebih baik jika dibandingkan dengan partai politik di Thailand dan Filipina, misalnya.  Bukan saja lebih baik, “...but are also more effective in fulfilling key functions such as political recruitment, interest articulation, or political mobilization and participation”. Tetapi, mereka berdua buru-buru menutup pernyataannya dengan kesimpulan yang mencekam :partai politik di Indonesia masih menderita kelemahan yang cukup fatal, yakni belum mampu melepaskan diri dari cengkraman korupsi.

Korupsi memang telah menjadi budaya bagi sebagian besar – jika tidak menyebutkan semua – partai politik di Indonesia. Sepuluh partai yang kini menduduki kursi parlemen tidak ada yang benar-benar bersih dari korupsi. Hampir tidak ada parpol yang tidak memiliki “perwakilan” sebagai tersangka kasus korupsi. Ini menunjukkan betapa korupsi telah mengakar bersama dengan politik praktis. Kondisi seperti demikian sudah pasti tidak akan sehat bagi berlangsungnya demokrasi di Indonesia.

Dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk memberantas – setidaknya mengurangi secara drastis – praktik korupsi yang menjangkiti negeri ini. Penaikkan dana bantuan bagi parpol harus direspon secara penuh tanggungjawab oleh parpol. Semestinya parpol sudah harus mulai menyadari bahwa uang rakyat dengan jumlah besar yang diperuntukkan baginya wajib dikembalikan dalam bentuk imbalan konkret berupa berakhirnya praktik korupsi dari tubuh parpol. Semoga. 

*) Robi Setyanegara, S.IP. adalah Koordinator Nasional Generasi Anti-Korupsi (GERAK)

dana parpol korupsi GERAK