Jalan Macet dan Perdagangan Dunia

josstoday.com

Ahmad Cholis Hamzah

JOSSTODAY.COM - Oleh: Ahmad Cholis Hamzah **)

Kondisi kemacetan Surabaya dan wilayah sekitarnya sudah hampir sama dengan Jakarta. Sudah tidak dapat diprediksi pada jam-jam mana jalanan tidak macet.

Dulu tahun 70an di Jakarta kalau ada kemacetan di jalan-jalan utama, maka orang mencari jalan tikus. Atau jalan alternatif. Yaitu jalan di kampung-kampung sempit yang berliku-liku, meskipun agak lama tapi bisa sampai di tujuan. Sekarang jalan-jalan tikus itu juga macet karena agaknya semua orang punya pikiran sama untuk mencari jalan alternatif bila ada kemacetan, akibatnya jalan tikus itu juga sama macetnya. Kalau weekend atau hari libur panjang jalan tol Jakarta yang menuju Bogor atau Bandung macetnya bisa sampai 6 jam lebih.

Surabaya dan sekitarnya meskipun tidak persis sama seperti Jakarta, namun mulai ada gejala akan menyamai Jakarta. Sebagai contoh jalan-jalan dari Sidoarjo menuju kota Surabaya sudah ramai pukul 04.30 pagi dan mulai macet pada jam 06.00 pagi ke atas bahkan sampai malam hari pukul 23.00 an.

Di dalam kota sendiri juga mengalami kemacetan dimana-mana. Baik di Surabaya maupun Sidoarjo, setiap bulannya ada tambahan lebih 10.000 unit sepeda motor baru. Juga ada kenaikan penambahan mobil.

Karena itu bisa dibayangkan betapa macetnya kota Surabaya. Bahkan di jalan lingkar timur atau MERR (Middle Eastern Ring Road) Surabaya, yang dulu tujuannya dibangun adalah mengurai kemacetan, malah macet sekarang.

Pada bulan Februari 2015, Harian Surya pernah melaporkan, bahwa kemacetan di Surabaya ternyata cukup parah. Kemacetan di Ibu kota Jawa Timur (Jatim) ini berada di posisi ke-4 versi Castrol Magnatec. Sedang kemacetan di Jakarta menempati posisi pertama dari seluruh kota di dunia.

Kabid Lalu Lintas Dinas Perhubungan (Dishub) Surabaya, Irvan Wahyu Drajat mengaku sudah mendengar kabar tersebut. Dia pun mengakui tingkat kemacetan di Surabaya sudah sangat parah. Dishub sudah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi kemacetan di Surabaya.

Lalu apa hubungan kemacetan jalan dengan perdagangan internasional?

Pada era perdagangan bebas di dunia ini, maka berlaku adanya perjanjian Free Trade Agreement atau perjanjian perdagangan bebas antar suatu negara dengan negara lain, misalnya negara-negara di kawasan ASEAN, atau antara Indonesia dengan Cina, Indonesia dengan Amerika Serikat dsb.

Hakekat perjanjian itu adalah kesepakatan untuk melakukan harmonisasi perdagangan, menghilangkan restriksi atau hambatan perdagangan dan menghindari praktek-praktek proteksionisme. Perjanjian itu juga menyangkut kesepakatan penurunan tarif impor atau biaya masuk suatu barang ke suatu negara.

Kalau nantinya, bila semisal disepakati tarif impor itu 5-0%, maka Indonesia tidak lagi dapat menarik investor dengan membanggakan tentang banyaknya sumberdaya alam dan kompetitif (atau lebih tepat murahnya) sumber daya manusia saja. Kenapa? karena nanti para investor itu akan mencari negara yang lebih efisien, cepat tanpa birokrasi berbelit-belit dan sebagainya.

Sehingga mereka lebih memilih Malaysia atau Singapura untuk investasi atau merelokasi perusahaan mereka, meskipun biaya buruhnya mahal misalnya, tapi produktivitasnya lebih tinggi dari Indonesia, dan masih bisa menjual produknya ke Indonesia karena toh tarif impornya rendah sesuai dengan Perjanjian Perdagangan Bebas atau Free Trade Agreement.

Negara yang sistem ekonominya tidak efisien akan ditinggalkan, jadi pemilihan berinvestasi itu sekarang bukan saja karena bahan baku dan buruh murah, tapi soal cepat, transparan atau efisien.

Dalam hubungannya dengan kecepatan dan efesiensi ini, maka faktor kemacetan jalan menjadi variabel yang penting. Selain variabel lainnya seperti tingkat suku bunga, inflasi, pertumbuhan ekonomi, keamanan dan sebagainya. 

Apabila suatu perusahaan yang melakukan ekspor keluar negeri maka perusahaan ini harus Comply with atau mematuhi perjanjian jual beli atau sales contract dengan pihak mitra bisnisnya di luar negeri yang biasanya dicantumkan dalam L/C atau Letter of Credit.

Hal-hal penting yang tercantum dalam L/C ini antara lain jumlah produk yang di ekspor dengan perincian detail seperti warna, ukuran dsb, harga produk dan pembayaran dalam mata uang asing, dan tanggal dan tempat pengiriman barang (bisa lewat udara atau laut) serta tanggal sampainya barang.

Kedua belah pihak harus berkomitmen untuk mematuhi hal-hal yang sudah disepakati yang tercantum dalam L/C itu. Apabila tidak, misalkan pihak eksportir tidak menetapi janji ketepatan pengiriman barang, maka bisa kena penalty, atau klaim, atau bahkan penghentian hubungan dagang.

Tepat tidaknya waktu pengiriman barang itu tergantung banyak faktor, bisa karena hal-hal force majeure (diluar control- misalkan kebakaran), salah produksi, atau karena pengirimannya terjebak karena kemacetan jalan sehingga terlambat sampai di pelabuhan.

Para pengusaha kita umumnya sudah paham soal kemacetan itu dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan jalan mengatur waktu keberangkatan pengiriman, kalau barang harus berada di pelabuhan jam 13.00 siang maka perusahaan memberangkatkan pengiriman pagi-pagi sekali menghindari macet; sebab kalau tidak bisa menimbulkan masalah serius, bayangkan pengiriman barang terlambat di pelabuhan karena terjebak macet selama 6 jam…..!

Karena itu sebuah kota harus memiliki system transportasi kota yang bagus dan profesional, karena kemacetan kota itu menunjukkan sebuah kota atau negara itu tidak efisien dan pada gilirannya akan menghambat praktek perdagangan internasional atau menimbulkan terputusnya hubungan bisnis dengan mitra bisnis.

Jadi jangan dianggap sepele kemacetan itu.

**) Ahmad CholisHamzah adalah alumni Universitas Airlangga dan University of London, dosen di STIE PERBANAS, STIESIA, dan Wakil Rektor Universitas Sunan Giri Surabaya.

 

Catatan Ahmad Cholis Hamzah ekonomi Jalan Macet Perdagangan Dunia