MA dan Parpol Kunci Selesaikan Polemik KPU-Bawaslu

Ketua DKPP Harjono
JOSSTODAY.COM - Pertemuan tripartit antara Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menghasilkan dua keputusan penting yang menjadi solusi dalam menyelesaikan polemik antara KPU-Bawaslu soal mantan terpidana kasus korupsi menjadi calon anggota legisllatif (caleg). Forum sepakat bahwa partai politik (parpol) dan Mahkamah Agung (MA) menjadi kunci bagi penyelesaian konflik antara KPU dan Bawaslu.
Ketua DKPP, Harjono mengatakan, diskusi dalam forum tripartit berlangsung cair dan saling terbuka antara KPU dan Bawaslu. Diskusi tersebut menghasilkan dua langkah yang ditempuh untuk menyelesaikan polemik KPU dan Bawaslu. "Pertama, memohon dan mendorong kepada MA untuk segera memutuskan uji materi peraturan KPU. Permohonan itu secara formalnya, secepat mungkin," ujar Harjono saat melakukan konferensi pers seusai melakukan pertemuan tertutup dengan pimpiman KPU dan Bawaslu di kantor DKPP, Sarinah, Jakarta, Rabu (5/9) malam.
Menurut dia, forum tripartit menilai bahwa MA mempunyai kewenangan untuk memutus secara cepat perkara-perkara yang terkait dengan pemilu. MA, kata dia, diberi batasan waktu tertentu dalam memutuskan uji materi perkara terkait pemilu. "Tidak sebagaimana MA memutuskan perkara-perkara yang lain. Kalau perkara pemilu diputuskan cepat. Untuk itu, kami membangun komunikasi dengan MA agar segera memutuskan, karena Bawaslu dan KPU sebetulnya bergantung pada putusan MA," kata dia.
Di dalam Pasal 76 Ayat 4 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) disebutkan, MA memutuskan penyelesaian pengujian PKPU paling lama 30 hari kerja sejak permohonan diterima oleh MA.
Langkah kedua, lanjut Harjono, tiga penyelenggara pemilu melakukan pendekatan dengan parpol peserta Pemilu 2019. Pasalnya, parpol sudah menandatangani pakta integritas untuk tidak mencalonkan mantan terpidana kasus korupsi menjadi bakal caleg. "Parpol sudah menandatangani pakta integritas yang bersepakat tidak mencalonkan orang yang pernah terpidana kasus korupsi. Kalau itu didialogkan kembali dan pakta integritas ditegakkan, maka parpol bisa menarik kembali calonnya (mantan koruptor)," kata dia.
Seperti diketahui, larangan mantan terpidana kasus korupsi menjadi caleg DPR dan DPRD diatur dalam Pasal 4 Ayat 3 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal itu berbunyi, dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada Ayat 2, partai politik tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.
Larangan yang sama juga berlaku bagi calon anggota DPD. Pada Pasal 60 huruf j PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD disebutkan, perseorangan peserta pemilu dapat menjadi bakal calon perseorangan peserta pemilu anggota DPD setelah memenuhi syarat bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.
Kedua PKPU tersebut sedang digugat sejumlah mantan narapidana kasus korupsi ke MA. Tetapi, MA belum bisa memroses uji materi dua PKPU itu karena UU Pemilu yang menjadi rujukan dua PKPU tersebut masih dalam proses uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam Pasal 53 UU Nomor 24 tahun 2003 tentang MK dikatakan, MK harus memberitahukan permohonan uji materi yang masuk ke MK kepada MA. Pemberitahuan ini dilakukan dalam waktu tujuh hari setelah perkara uji materi didaftarkan ke MK. Sementara, Pasal 55 UU tersebut mengatur, uji materi terhadap aturan perundangan yang ada di MA wajib dihentikan sementara manakala ada proses uji materi terhadap undang-undang yang ada di atasnya.
MK telah meminta MA untuk segera memutuskan dua PKPU tersebut tanpa harus menunggu putusa uji materi UU Pemilu. Pasalnya, MA berpandangan, norma UU Pemilu yang diuji secara materi di MK tidak terkait dengan uji materi PKPU di MA. (ba/b1)
KPU Bawaslu