Jelang Pemilu 2019, Banyak Elite Terjebak Politik Olok-olok
Pasangan Calon Presiden-Wapres Joko Widodo (kedua kanan)-Ma'ruf Amin (kanan) dan Prabowo Subianto (kedua kiri)-Sandiaga Uno (kiri) berbincang usai pengambilan nomor urut Pemilu Presiden 2019 di Jakarta, Jumat (21/9/2018). Pasangan calon Presiden dan Wapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin mendapatkan nomor urut 01, dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapat nomor urut 02.
JOSSTODAY.COM - Analis politik Exposit Strategic, Arif Susanto berpendapat, menjelang Pemilu 2019, masyarakat justru terus disuguhkan politik olok-olok. Politik olok-olok terjadi ketika elite politik lebih sering mengeksploitasi emosi massa lewat pernyataan-pernyataan menohok ketimbang mengeksplorasi keunggulan program.
"Selain mengesankan dangkalnya gagasan politik, hal tersebut (politik olok-olok) cenderung membodohi dan memecah-belah," kata Arif Susanto, dalam diskusi "Kampanye Nyinyir dan Gugat-Menggugat di Tahun Politik: Apa Motifnya?", di Jakarta, Rabu (21/11).
Menurutnya, politik olok-olok biasanya terjadi dalam berbagai bentuk. D iantaranya penyampaian pesan superfisial yang cenderung dangkal, tidak subtansial, bahkan mengada-ada.
"Kritik tidak berdasar, tanpa data akurat, sekadar untuk memukul lawan. Biasanya penyampaian pesan juga emosional yang menunjukkan kegeraman atau mengarah pada agitasi," ungkapnya.
Dikatakan, politik olok-olok terjadi karena berbagai sebab. Di antaranya pasangan calon cenderung reaksioner, kurang antisipatif, terhadap masalah, tim kampanye gagap menerjemahkan visi menjadi program lebih konkret, minim terobosan bagi kampanye cerdas dan kreatif.
"Termasuk politisasi SARA yang terus menjebak politik nasional dalam kubangan kebencian dan juga terjadi karena adanya pembatasan KPU yang mempersempit ruang kampanye," ucap Arif.
Dirinya mengingatkan, politisasi SARA hanyalah bagian dari potret lebih besar politik olok-olok. Kondisi ini juga menunjukkan sempitnya pola pikir, intoleransi, dan instrumentalisasi hukum untuk perebutan kekuasaan.
Menurut Arif, ada sejumlah alasan politik olok-olok yang tidak akan berjalan efektif dalam mempengaruhi masyarakat. Di antaranya, saat ini pemilih semakin rasional, tidak mudah termakan agitasi atau politik kebencian. Kemudian, lebih dari 40% pemilih juga termasuk golongan milenial, dengan karakter egaliter, pluralis, kreatif, dan kritis.
"Belum lagi sekitar 70% dari pemilih Jokowi-Ma'ruf maupun Prabowo-Sandi merupakan pemilih loyal yang sudah memantapkan pilihan mereka. Jadi politik olok-olok tidak akan cukup berpengaruh," ucap Arif.
Saat ini, selain dibutuhkan aturan main kampanye yang lebih memadai, pasangan calon maupun tim kampanye juga harus mengembangkan komunikasi politik yang lebih cerdas dan kreatif. Salah satunya dengan memberikan tawaran program jelas dan berkontribusi bagi pencerdasan publik pemilih. (fa/b1)
pemilu 2019