KPK Nilai Gugatan Praperadilan Rommy Keliru

josstoday.com

Romahurmuziy diperiksa KPK.

JOSSTODAY.COM - Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyampaikan tanggapan atau jawaban atas gugatan praperadilan yang diajukan mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy alias Rommy dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Selasa (7/5/2019). KPK menilai seluruh dalil gugatan praperadilan yang diajukan Rommy atas penangkapan dan penetapannya sebagai tersangka kasus dugaan suap jual beli jabatan di Kementerian Agama (Kemag) keliru dan sepatutnya ditolak hakim.

"KPK berkesimpulan seluruh dalil pemohon (Romahurmuziy) keliru, sehingga sepatutnya praperadilan ditolak atau setidaknya dinyatakan tidak diterima," kata Jubir KPK Febri Diansyah mengutip jawaban Biro Hukum KPK atas gugatan praperadilan Rommy.

Selama proses persidangan praperadilan ini, KPK bakal mengajukan bukti-bukti yang relevan mulai dari dokumen, keterangan saksi dan ahli. KPK menghormati dan yakin hakim yang memimpin sidang gugatan praperadilan ini akan menyidangkan perkara dengan independen dan imparsial. "Sehingga nantinya akan dihasilkan putusan yang sebaik-baiknya," harap Febri Diansyah.

Biro Hukum KPK membeberkan argumentasi yang menjadi landasan kesimpulan gugatan praperadilan Rommy telah keliru dan sudah sepatutnya ditolak atau tidak diterima hakim. Dipaparkan, KPK menilai sebagian gugatan Rommy telah masuk dalam pokok perkara, seperti terkait pertemuan dan pemberian uang dan lainnya. Gugatan tersebut seharusnya diuji dalam persidangan pokok perkara di Pengadilan Tipikor Jakarta. Hal ini sesuai dengan Putusan MK dan Perma 4 Tahun 2016 yang mengatur ruang lingkup praperadilan secara limitatif, yaitu pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan, serta ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. "KPK tentu sudah memiliki bukti yang kuat tentang dugaan perbuatan-perbuatan tersebut, namun semestinya mudah dipahami bahwa forum praperadilan tidak akan membahas pokok perkara," kata Febri Diansyah.

KPK menilai Rommy dan kuasa hukumnya keliru ketika meminta rehabilitasi saat proses penyidikan berjalan. Pasal 97 KUHAP menyatakan rehabilitasi bisa diminta jika diputus bebas atau lepas di pengadilan saat putusan berkekuatan hukum tetap atau dalam hal penangkapan atau penahanan jika perkara tidak diajukan ke pengadilan negeri. Sementara saat ini proses penyidikan sudah berjalan, dan jika seluruh tahapan dan kebutuhan penyidikan selesai maka perkara akan dilimpahkan ke penuntutan dan pengadilan. "Sementara saat ini proses penyidikan sedang berjalan, sejumlah saksi juga sudah diperiksa dan bahkan pada 8 Mei 2019 dijadwalkan pemeriksaan terhadap Menteri Agama dalam proses penyidikan ini," kata Febri Diansyah.

Biro Hukum KPK juga menilai Rommy dan kuasa hukumnya keliru memasukkan proses penyelidikan dalam materi gugatan praperadilan. Mengacu pada hukum acara yang berlaku, proses penyelidikan tentu saja tidak masuk pada ruang lingkup praperadilan. Hal ini berdasarkan KUHAP ataupun Putusan MK dan Perma 4 tahun 2016. "Proses penyelidikan tidak masuk ruang lingkup praperadilan ini pun telah ditegaskan pada sejumlah putusan praperadilan," kata Febri Diansyah.

Lebih jauh, KPK juga menilai Rommy keliru memahami kewenangan KPK dalam menangani perkara sebagaimana diatur di Pasal 11 UU KPK. Dalam gugatannya, Romy berdalih tidak dapat ditetapkan sebagai tersangka karena tidak ada kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar dalam kasus jual beli jabatan di Kemag yang menjeratnya. KPK menegaskan, Rommy dan kuasa hukumnya seharusnya memahami kasus jual beli jabatan merupakan kasus suap bukan pasal kerugian negara.

"KPK memandang semestinya hal sederhana ini dapat dipahami bahwa pasal yang dikenakan terhadap pemohon memang bukan pasal tentang kerugian keuangan negara. Adapun Pasal 2 atau 3 yang mengatur tentang korupsi dengan kerugian keuangan negara hanyalah salah satu jenis TPK di antara tujuh jenis korupsi yang diatur di UU Tipikor tersebut. Apalagi putusan MK Tahun 2006 juga sudah menegaskan ketentuan Pasal 11 UU KPK tersebut tidaklah bersifat komulatif. KPK memastikan tersangka RMY yang diproses dalam kasus ini menjabat sebagai Anggota DPR-RI sehingga masuk sebagai kualifikasi Penyelenggara Negara," papar Febri Diansyah.

Selain itu, KPK menegaskan OTT terhadap Rommy dilakukan dengan mengacu pada Pasal 1 angka 19 KUHAP, dimana terdapat empat kondisi secara alternatif yang dapat disebut tertangkap tangan, yakni pada waktu sedang terjadinya tindak pidana, segera sesudah tindak pidana terjadi, segera setelah diteriaki oleh khalayak ramai, atau apabila sesaat kemudian ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu. "KPK melakukan tangkap tangan segera setelah penerimaan uang diduga terjadi di Hotel Bumi Surabaya City Resort. Sehingga, KPK memastikan kegiatan tangkap tangan yang dilakukan KPK tersebut sudah memenuhi aturan hukum acara yang berlaku," kata Febri Diansyah.

Dalam jawaban gugatan praperadilan ini, KPK menilai Rommy tidak dapat membedakan antara tugas penindakan dengan tugas pencegahan yang dilakukan KPK. Argumentasi Rommy ini sering menjadi alasan berbagai pihak yang menggeser makna tugas pencegahan KPK seolah-olah KPK harus memberikan informasi agar tidak jadi dilakukan tangkap tangan pada saat itu. "Padahal KPK melaksanakan tugas penanganan perkara, termasuk tangkap tangan mengacu pada KUHAP, UU Tipikor dan Pasal 6 huruf c UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Sementara tugas Pencegahan diatur pada Pasal 6 huruf d UU KPK, yang diperjelas di Pasal 13 UU KPK," kata Febri Diansyah.

KPK menegaskan penetapan tersangka terhadap Rommy berdasarkan dua alat bukti yang cukup. Termasuk, bukti penyadapan dan permintaan keterangan, serta bukti lain yang dilakukan dalam proses penyelidikan. KPK memandang, bagian cukup sering dijadikan argumentasi pemohon praperadilan, yaitu seolah-olah KPK harus lakukan penyidikan terlebih dahulu barulah bisa menetapkan tersangka. 'Hal ini keliru dan telah cukup sering ditolak Hakim Praperadilan. UU KPK bersifat lex specialis karena mengatur secara khusus di Pasal 44 UU KPK yang kurang lebih menegaskan bahwa penyidikan dapat dilakukan jika ditemukan bukti permulaan yang cukup," tegas Febri Diansyah. (is/b1)

Kasus Rommy Jual beli jabatan