Dilema Ambang Batas
JOSSTODAY.COM - Oleh Rully Anwar **)
Perbincangan soal undang-undang pemilihan umum belum selesai meskipun sudah ditetapkan 21 Juli lalu. Ada pertarungan yang semakin meruncing antara dua kelompok besar yang ada di parlemen saat ini. Pertarungan dan perdebatan ini masih terkait ambang batas pemilihan presiden.
Pengesahan UU Pemilupun diwarnai aksi walk out dari empat fraksi di DPR, yakni Partai Gerindra, PKS, Partai Demokrat, dan PAN. Sementara enam fraksi lainnya, PDIP, Golkar, PPP, PKB, Nasdem, dan Hanura menyetujui pengesahan undang-undang pemilu tersebut. Salah satu isu krusial yang membuat sikap DPR terbelah adalah terkait ambang batas pencalonan presiden.
Enam fraksi yang semuanya adalah partai pendukung pemerintah menyetujui ambang batas pemilihan presiden dengan pertimbangan jika ini dihilangkan sistem politik kita mundur ke belakang. Apalagi ambang batas ini sudah dipakai sejak pemilihan presiden 2004 dengan angka ambang batas yang mengalami peningkatan sejak 2009 sampai 2014. Apalagi dengan ambang batas, calon presiden memiliki modal dukungan yang menjadi jaminan pemerintahannya akan aman di tingkat legislatif.
Sementara empat fraksi yang menolak ambang batas pemilihan presiden, yang kebetulan sebagian besar adalah partai politik di luar pemerintahan, kecuali PAN, yang kemudian pascapengesahan undang-undang pemilihan umum, keberadaannya di pemerintahan dipertanyakan oleh partai politik anggota koalisi pemerintahan, menilai ambang batas tidak diperlukan lagi. Salah satu argumentasinya adalah pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan presiden tahun 2019 dilakukan serentak. Keduanya dilakukan bersamaan, sehingga syarat perolahan kursi atau suara bagi terbentuknya ambang batas tidak bisa terpenuhi karena pemilihan legislatif belum digelar karena diadakan bersamaan dengan pemilihan presiden tersebut.
Sejumlah pengamat politik dan pegiat pemilu setidaknya menemukan sejumlah kelemahan jika pemilihan presiden menerapkan ambang batas pencalonan. Pertama, secara prinsip penerapan ambang batas pemilihan presiden ketika pemilu digelar serentak akan semakin melemahkan sistem presidential kita. Bayangkan, basis hasil pemilu legislatif dipakai menjadi basis pemilihan presiden. Artinya, legitimasi presiden diawali oleh pengaruh partai politik. Pendek kata, presiden bisa terpilih tidak lepas dari peran partai politik, meskipun presiden dipilih langsung.
Akibatnya ketergantungan presiden pada koalisi di parlemen semakin besar. Pengalaman pembentukan kabinet di era Presiden SBY menjadi potret bagaimana di setiap kebijakan pemerintah, dinamika dari partai politik pendukung masih kerap terjadi, bahkan justru dari koalisi yang mendukung seringkali tidak mendukung kebijakan pemerintah. Dengan pemilu dilakukan serentak, harapannya presiden terpilih tidak secara langsung “terkooptasi” dengan partai politik, namun jika ambang batas kemudian tetap diberlakukan, upaya menguatkan sistem presidential menjadi terhalang.
Lalu kemudian yang dianggap juga agak keluar dari konteks politik saat ini adalah diberlakukannya hasil pemilu 2014 sebagai basis ambang batas pemilihan presiden ke depan. Pilihan ini terlihat memang pragmatis, memudahkan saja sebagai jawaban atas kebuntuhan ketika ambang batas harus tetap diberlakukan di pemilu serentak. Pilihan ini kemudian menjadikan perlakukan yang tidak sama bagi semua partai politik.Perlakukan seperti ini secara tidak langsung juga mengurangi prinsip pemilu yang adil.Menggunakan hasil pemilu 2014 otomatis pemilihan presiden hanya akan diikuti oleh partai politik lama yang mengikuti pemilu 2014 sebelumnya. Sebaliknya partai-partai politik baru tidak bisa mengikuti ajang kontestasi ini.
Inilah wajah demokrasi kita hari ini. Semua kekuatan politik tengah berlomba membangun strategi pemenangan pemilu. Namun, pilihan sudah ditetapkan, mari kita ikuti proses demokrasi ini sambil tetap memberi ruang bagi kekuatan politik untuk menggugat pilihan politik ini dalam jalur pengadilan konstitusi. Apakah pilihan ini melanggar konstitusi atau tidak. Sebenarnya tujuannya itu satu, yakni bagaimana pemilu dan pemilihan presiden itu berkualitas, amanah, dan komitmen memperjuangkan rakyat.
Dilema ambang batas, antara yang setuju dan tidak setuju mestinya diletakkan dalam konteks diskursus publik yang sehat, meskipun tidak mudah mengurangi derajat kepentingan dari partai politik sebagai peserta pemilu. Jalan tengah yang bisa diambil adalah bagaimana kemudian menghormati pilihan politik dari undang-undang pemilu ini dengan tetap membuka ruang bagi upaya hukum untuk menguji aturan ini, apakah melanggar atau tidak dari konstitusi kita.
Langkah ini sekaligus menguatkan bangunan demokrasi kita yang sudah kita bangun hampir 20 tahun terakhir ini sejak era reformasi bergulir. Perdebatan ambang batas yang kemudian melahirkan dilema antara memperkuat sistem presidential dengan membatasi jumlah calon presiden semestinya tidak melupakan susbtansi dari tujuan pemilu itu sendiri, yakni menghasilkan kepemimpinan yang amanah dan benar-benar memperjuangkan aspriasi rakyat. Jangan kemudian perdebatan ambang batas hanya panggung bagi elite berpolitik, namun juga memberi ruang bagi publik untuk memberikan peran dan konstribusi bagi proses demokrasi yang beradab. Semoga.
**) Rully Anwar adalah pemimpin redaksi Portal Berita Josstoday.com dan Bumntoday.com
today review