Politik Kenegaraan TNI

josstoday.com

Presiden Joko Widodo bersama Panglima TNI dan petinggi TNI lainnya, di saat HUT TNI 2017. (Foto: Istimewa)

JOSSTODAY.COM - Oleh Rully Anwar **)

Sambutan Presiden Joko Widodo dalam upacara peringatan ulang tahun TNI Ke-72 mengingatkan TNI berdiri di semua golongan. TNI dilarang berpolitik. Politik TNI adalah politik kenegaraan. Sambutan ini pun disambut positif Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang menimpali sambutan presiden dengan menyatakan jangan meragukan kesetiaan TNI pada negara dan bangsa.

Dua sambutan ini adalah potret diskursus soal TNI dan politik yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini, terutama dengan sepak terjang sang panglima TNI yang cenderung dimaknai sedang memainkan gerak politik. Sesuatu yang diharamkan dalam institusi tentara. Wacana publik pun kembali diramaikan oleh relasi TNI dengan politik. 

Jika kita tengok kembali, sejarah perjalanan TNI tentu  tidak bisa dilepaskan dari tarik menarik, antara menjadikan tentara sebagai kekuatan pertahanan negara, dengan tentara yang dilibatkan dalam kehidupan sosial politik bangsanya.

Sejarah lahirnya tentara sampai saat ini masih mengundang diskursus. Pengamat  militer seperti Harold Crouch (1986) dan Salim Said (2001) dalam karyanya soal militer menyebutkan secara historis tentara lahir dari rakyat yang berupa badan-badan perjuangan atau laskar yang menjadi cikal bakal TNI. Tidak heran jika kemudian Jenderal Soedirman pada awalnya memimpin tentara dengan memberi jarak pada pemerintah karena alasan historis ini, meskipun pada akhirnya juga mengakui bahwa tentara adalah alat negara yang harus patuh pada pemerintah.

Jejak historis disebut oleh Coen Husain Pontoh (2005), salah seorang aktivis yang pernah ditahan oleh rezim Orde Baru, sebagai alasan kuat bagi tentara untuk terlibat dalam kehidupan sosial politik yang dikemas dalam konsep dwi fungsi ABRI sejak Orde Baru lahir. Pontoh sendiri menggugat alasan historis tersebut, sebab faktanya tentara justru menjadi pelaku kekerasan terhadap rakyat, terutama dugaan keterlibatan militer dalam  kasus penculikan aktivis tahun 1997-1998. 

Dwi fungsi sendiri melanjutkan apa yang digagas oleh  Kepala Staf Angkatan Darat Mayjen A.H. Nasution pada tahun 1957  dengan konsep “jalan tengah”.  Gagasan ini untuk menengahi ketegangan antara tentara profesional yang mendapat pendidikan dan pelatihan militer dengan tentara non profesional yang lahir dan terbentuk dari kelompok masyarakat.  Konsep dwi fungsi tentara semakin menguat di era Orde Baru, terutama ketika rezim Soeharto membangun kekuatan politik melalui Golkar dengan tentara (ABRI) sebagai salah satu pilar utamanya. 

Selain alasan historis yang menyatakan tentara lahir dari rakyat, kegagalan politisi sipil yang pernah terjadi di era Soekarno dengan demokrasi parlementernya turut meneguhkan dominasi tentara dalam sistem politik Orde Baru. Dominasi tidak hanya terjadi di pimpinan lembaga eksekutif. Di legislatif pun peran tentara diformalkan dalam sebuah fraksi TNI/Polri. Rezim Soeharto menekankan bahwa tentara tidak hanya berperan  sebagai stabilisator bagi proses pembangunan, namun juga sebagai dinamisator yang turut menentukan kehidupan bangsa dan negara. 

Pasca Orde Baru, militer menjadi target dari agenda reformasi. Penghapusan dwi fungsi ABRI dengan mengembalikan militer ke barak menjadi tonggak baru reformasi di internal TNI. Apalagi setelah keterwakilan TNI dihapuskan di parlemen sejak Pemilu 2004 semakin meminggirkan peran tentara dari dunia politik kekuasaan dan mengembaikannya ke ‘barak’. Hal lainnya adalah larangan bagi tentara melakukan bisnis seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun  2004 tentang TNI. 

Pembersihan medan politik dan bisnis dari peran militer sebagai bagian penting dari reformasi TNI, sedikit banyak bermakna positif  bagi institusi ini. Saat ini performa dan citra tentara dinilai sudah cukup profesional dan relatif bersih dari hiruk pikuk politik. Sampai kemudian sang panglima menggugah kembali memori publik tentang wacana relasi TNI dengan politik. Namun, pidato presiden di acara ulang tahun TNI pekan ini meneguhkan politik TNI adalah politik kenegaraan. 

Gerak langkah tentara adalah menjamin negara ini dalam keadaan tenang, aman, stabil, dan tidak dalam gangguang dari negara lain. Politik kenegaraan TNI harus tetap dalam koridor kepentingan negara dan bangsa, bukan kepentingan kelompok maupun golongan. TNI akan semakin kuat jika TNI tetap dalam khittahnya, sebagai penjaga dan garda depan pertahanan negara sekaligus penjaga setiap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bersama Rakyat, TNI Kuat. Dirgahayu TNI.

**) Rully Anwar adalah pemimpin redaksi di Josstoday.com

TNI HUT TNI Today Review